Kamis, 17 Maret 2016

#PsikologiKonseling

Psikologi transpersonal

Kata transpersonal berasal dari kata trans yang berarti melampaui dan persona berarti topeng. Secara etimologis, transpersonal berarti melampaui gambaran manusia yang kelihatan. Dengan kata lain, transpersonal berarti melampaui macam-macam topeng yang digunakan manusia.
Menurut John Davis, psikologi transpersonal bisa diartikan sebagai ilmu yang menghubungkan psikologi dengan spiritualitas. Psikologi transpersonalmerupakan salah satu bidang psikologi yang mengintegrasikan konsep, teori dan metode psikologi dengan kekayaan-kekayaan spiritual dari bermacam-macam budaya dan agama. Konsep inti dari psikologi transpersonal adalah nondualitas (nonduality), suatu pengetahuan bahwa tiap-tiap bagian (misal: tiap-tiap manusia) adalah bagian dari keseluruhan alam semesta. Penyatuan kosmis dimana segala-galanya dipandang sebagai satu kesatuan.

Perintisan psikologi transpersonal diawali dengan penelitian-penelitian tentang psikologi kesehatan pada tahun 1960-an yang dilakukan oleh Abraham Maslow (Kaszaniak,2002). Perkembangan psikologi transpersonal lebih pesat lagi setelah terbitnya Journal of Transpersonal Psychology pada tahun 1969 dimasa disiplin ilmu psikologi mulai mengarahkan perhatian pada dimensi spiritual manusia. Penelitian mengenai gejala-gejala ruhaniah seperti peak experience, pengalaman mistis, exctasy, keadaran ruhaniah, pengalaman transpersonal, aktualisasi dan pengalaman transpersonal mulai dikembangkan. Aliran psikologi yang memfokuskan diri pada kajian-kajian transpersonal menamakan dirinya aliran psikologi transpersonal dan memproklamirkan diri sebagai aliran ke empat setelah psikoanalisis, behaviourisme dan humanistic. Psikologi transpersonal memfokuskan diri pada bentuk-bentuk kesadaran manusia, khususnya taraf kesadaran ASCs (Altered States of Consciosness). Sejak 1969, ketika Journal of Transpersonal Psychology terbit untuk pertamakalinya, psikology mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia. Penelitian yang dilakukan untuk memahami gejala-gejala ruhaniah seperti peak experience, pengalaman mistis, ekstasi, kesadaran kosmis, aktualisasi transpersonal pengalaman spiritual dan kecerdasan spiritual (Zohar,2000).
Aliran psikologi transpersonal ini dikembangkan oleh tokoh psikologi humanistic antara lain : Abraham Maslow, Antony Sutich, dan Charles Tart. Sehingga boleh dikatakan bahwa aliran ini merupakan perkembangan dari aliran humanistic. Sebuah definisi kekemukakan oleh Shapiro yang merupakan gabungan dari pendapat tentang psikologi transpersonal : psikologi transpersonal mengkaji tentang poitensi tertinggi yang dimiliki manusia, dan melakukan penggalian, pemahaman, perwujudan dari kesatuan, spiritualitas, serta kesadaran transendensi.
Menurut Maslow pengalaman keagamaan meliputi peak experience, plateu, dan farthes reaches of human nature. Oleh karena itu psikologi belum sempurna sebelum memfokuskan kembali dalam pandangan spiritual dan transpersonal. Maslow menulis (dalam Zohar, 2000). "I should say also that I consider Humanistic, Third Force psychology, to be trantitional, a preparation for still higher Fourth Psychology, a transpersonal, transhuman centered in the cosmos rather than in human needs and interest, going beyond humanness, identity, self actualization, and the like".

Psikologi transpersonal lebih menitikberatkan pada aspek-aspek spiritual atau transcendental diri manusia. Hal inilah yang membedakan konsep manusia antara psikologi humanistic dengan psikologi transpersonal. McWaters (dalam Nusjirwan, 2001) membuat sebuah diagram yang berbentuk lingkaran dimana setiap lingkaran mewakili satu tingkat berfungsinya menusia dan tingkat kesadaran diri manusia.
Tiap tingkat dari bagian diatas menunjukan tingkat fungsi dan tingkat kesadaran manusia. Lingkaran 1,2 dan 3 yang berturut-turut mewakili aspek fisikal, aspek emosional dan aspek intelektual dari kekuatan batin individu. Lingkaran 4 menggambarkan pengintegrasian dari lingkaran 1, 2 dan 3 yang memungkinkan individu berfungsi secara harminis pada tingkat pribadi. Keempat lingkaran ini termasuk dalam kawasan personal manusia.
Tingkatan berikutnya termasuk dalam kategori wilayah transpersonal manusia. Lingkaran 5 mewakili aspek intuisi. Pada aspek ini mulai samara-samar menyadari bahwa ia bisa mempersepsi tanpa perantara panca indra (extra sensory perception). Lingkaran 6 mewakili aspek energi psikis (kekuatan bathiniah) di mana individu secara jelas menghayati dirinya sebagai telah mentransedir/melewati kesadaran sensoris dan pada saat yang sama menyadari pengintegrasian dirinya dengan medan-medan energi yang lebih besar. Fenomena-fenomena para psikologi dapat dialami pada tingkat kesadaran ini. Lingkaran 7 mewakili bentuk penghayatan paling tinggi-penyatuan mistis atau pencerahan, dimana diri seseorang mentransendir dualintas dan menyatu dengan segala yang ada. Melewati ke tujuh tingkat yang disebutkan itu, dikatakan lagi tingkat pengembangan potensial dimana semua tingkat dihayati secara simultan.

Konsep dari McWater ini dapat menjelaskan bagaimana seseorang mencapai kualitas diri melalui metode tafakur. Ketika seseorang berada pada fase pertama dalam bertafakur berarti dia berada pada dunia fisik yaitu pengetahuan yang didapat dari fungsi indera. Sebuah kejadian akan dipresepsi secara empiris yang langsung melalui pendengaran, penglihatan atau alat indera lainnya, atau secara tidak langsung seperti pada fenomena imajinasi, pengetahuan rasional yang abstrak, yang sebagaian pengetahuan ini tidak ada hubungannya dengan emosi. Jika seseorang memperdalam cara melihat dan mengamati sisi-sisi keindahan, kekuatan, dan keistimewaan lainnya yang dimiliki sesuatu, berarti ia telah berpindah dari pengetahuan yang indrawi menuju rasa kekaguman ( tadlawuk) dimana pada tahap ini adalah tahap bergejolaknya perasaan, disini kita melihat bahwa tahap ini sesuai dengan tahap kedua dari McWater yaitu emosional. Pada tahap selanjutnya, dengan bertafakur aktiitas kognitif seseorang muali delibtkan, disinilah tafakur sangat berperan dalam proses pengintegrasian ketiga komponen tadi yaitu fisik, dmosi dan intelektual.

Kemudian jika hasil pengintegrasian seseorang ini ditransendensikan kepada Allah maka kualitas seseorang tadi akan meningkat dari personal menuju transpersonal. Badri (1989) mencontohkan seseorang yang sudah pada tahap transpersonal ini "perasaan kagum manusia terhadap keindahan dan keagungan penciptaan serta perasaan kecil dan hina di tengah malam, yang ia saksikan merupakan fitrah yang sudah diberikan Allah kepada manusia untuk dapat melihat semua yang ada di langit dan di bumi sehingga ia dapat menemukan sang pencipta, merasakan khusuk terhada-Nya, dan dapat menyembah-Nya. Baik karena takut atau karena cinta". Dari ungkapan tersebut dapat dita lihat bahwa seseorang yang mengakui bahwa keindahan itu adalah ciptaan Allah maka berarti dia sudah memasuki dunia transpersonal.

Selasa, 12 Januari 2016

#PsikologiManajemen

KELOMPOK MATAHARI

ANTONNY
JODI WICAKSONO
MEGA NOVIANDA
NODDIE MAHARIZKY
RUTHIANY ZARA MONICA
VICTOR FAVIAN RAMADHAN


PENGARUH KEPUASAN KERJA TERHADAP KINERJA INDIVIDUAL DENGAN SELF ESTEEM DAN SELF EFFICACY SEBAGAI VARIABEL INTERVENING CECILIA ENGKO




Fakultas Ekonomi Universitas Pattimura Jl. Ir. M. Putuhena Poka, Ambon 97233

Latar belakang

Banyak penelitian – penelitian akuntansi yang mencoba mencari pemahaman hubungan anatara kepuasan kerja dan kinerja individual. Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada hubungan positif antara kepuasan kerja dan kinerja individual ( Parker dan Kleeimeir 1951; Vroom 1960; dan Strauss 1968 dalam Maryani dan Supomo 2001). Ketidakjelasan hubungan antara kepuasan kerja dan kinerja individual mendorong peneliti untuk melakukan pengujian kembali hubungan antara kepuasan kerja dan kinerja individual  dengan menggunakan self esteem dan self efficacy sebagai variable pemediasi. Untuk melihat apakan self esteem dan self efficacy dapat memediasi hubungan antara kepuasan kerja dan kinerja individual, dimana self esteem adalah suatu keyakinan nilai diri sendiri berdasarkan evaluasi diri secara keseluruhan. Seseorang dengan self esteem yang tinggi akan melihat dirinya berharga, mampu dan dapat diterima. Orang dengan self esteem rendah tidak merasa baik dengan dirinya (Kreitner dan Kinicki 2003), sedangkan self efficacyadalah keyakinan seseorang mengenai peluangnya untuk berhasil mencapai tugas tertentu (Kreitner dan Kinicki 2003). Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan ojek yaitu dosen karena melihat beberapa fenomena yang terjadi ada beberapa dosen merasa dirinya tidak berarti di lingkungannya sehingga membuatnya merasa terasing, minder dan jika memiliki keyakinan bahwa dia tidak mampu untuk menjalani tugasnya sebagai seorang dosen yang harus mengajar, melakukan penelitia – penelitian menjadikan profesinya sebagai suatu beban sehingga dapat menurunkan kepuasan dan kinerjanya. Adapun permasalahan penelitiannya adalah apakah terdapat pengaruh positif antara kepuasan kerja terhadap self esteem, kepuasan kerja terhadap self efficacy, kepuasan kerja terhadap kinerja individual, self esteem terhadap self efficacy, self esteem terhadap kinerja individual dan self efficacy terhadap kinerja individual.

METODE PENELITIAN

Pemilihan sampel dan pengumpulan data Data penelitian dikumpulkan dengan kuesioner yang disebarkan kepada sampel mahasiswa Magister Sains Universitas Gajah Mada yang berprofesi sebagai dosen. Pengumpulan ata dilakukan selama 3 minggu, kuesioner disebarkan secara langsung oleh peneliti maupun rekan peneliti. Dari 45 kuesioner yang kemali telah diperiksa secrara teliti oleh penulis dan ada 2 kuesioner yang tidak lengkap dan tidak dapat digunakan, sehingga yang dapat dianalisa lebih lanjut adalah 43 kuesioner sebagai sampel dan penelitian ini.

Hasil Penelitian

Penelitian ini mempunyai enam hipotesis yang diuji dengan menggunakan teknik path analysis (analisis jalur). Analisis jalur merupakan perluasan dari analisis regresi untuk menaksir hubungan kualitas antar variabel (model causal) yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan teori. Penelitian ini menguji enam hipotesis untuk melihat bagaimana kepuasan kerja terhadap kinerja individual dengan sel esteem dan sel efficacysebagai variabel pemediasi. Dari hasil 6 pengujian hipotesis, ada 2 hipotesis yang tidak terdukung yaitu hipotesis  yang mengukur hubungan anatar kepuasan kerja dan self esteem. Hasil ini tidak mendukung penelitian yang dilakukan oleh Judge dan Bono (2001). Hipotesis yang tidak terdukung juga pada hipotesis 5 yang mengukur hubungan antara self esteem dan kinerja individual. Hasilnya menunjukkan bahwa self esteem memiliki hubungan negative dengan kinerja individual. Sedangkan hupotesis 2, hipotesis 3, hipotesis 4, hipoteis 6 terdukung. Penelitian ini juga berhasil menguji atau menemukan bahwa variabel self esteem dan self efficacy dapat memediasi hubungan antara kepuasan kerja dan kinerja individual.

Senin, 11 Januari 2016

#PsikologiManajemen

KELOMPOK MATAHARI 

ANTONY 
JODI WICAKSONO
MEGA NOVIANDA
NODDIE MAHARIZKY
RUTHIANY ZARA MONICA 
VICTOR FAVIAN RAMADHAN



THE IMPACT OF JOB ENRICHMENT AND JOB ENLARGEMENT ON EMPLOYEE SATISFACTION KEEPING EMPLOYEE PERFORMANCE AS INTERVENING VARIABLE: A CORRELATION STUDY FROM PAKISTAN

            Latar belakang 
Melibatkan para pekerja untuk jajaran yang lebih tinggi pada fungsi manajerial disebut job enrichment. Hal tersebut membawa kesuksesan pada kinerja para pekerja. Karena peningkatan tekanan kerja di tempat kerja, sekarang ini sangat lazim mengubah aktivitas kerja para pekerja di tempat kerja dan membuat mereka mampu bekerja di tiap level. Hal ini telah meningkatkan kinerja para pekerja dan penurunan biaya secara keseluruhan pada perusahaan. Ada banyak perdebatan di antara industrialis/industriawan dan peneliti pada era ini tentang mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja para pekerja. Job enrichment dan job enlargement adalah salah satu faktor.
Job Enrichment
Melibatkan para pekerja untuk jajaran yang lebih tinggi pada fungsi manajerial disebut job enrichment. Di samping itu perluasan pekerjaan juga memungkinkan pekerja untuk melakukan lebih banyak tugas dengan memiliki posisi yang sama. Job enrichment juga meningkatkan aktualisasi diri, penguasaan diri dan harga diri dari para pekerja. Hal ini membawa kesuksesan pada performa para pekerja. Motivasi adalah perilaku yang berorientasi pada tujuan. Locke (1968) mengatakan bahwa selalu ada hubungan yang positif antara keterlibatan dan keberhasilan dari tujuan oleh para pekerja ketika pekerjaan para pekerja karyawan tersebut diperluas. Job enrichment juga meningkatkan level motivasi dan performa dari karyawan pada tempat kerja dan kecenderungan mereka untuk mencapai tujuan juga menjadi lebih mungkin.
Job Enlargement
Hellgren & Sverke (2001) mengidentifikasi bahwa karena adanya peningkatan dalam kompetisi di antara berbagai macam organisasi, kecenderungan karyawan untuk bekerja pada satu organisasi untuk jangka waktu yang lama itu mengalami penurunan, dan karena alasan itu maka manajemen harus menghadapi beberapa tanggung jawab ekstra dan juga organisasi harus membayar biaya ekstra.
Job enlargement secara umum dihubungkan pada situasi ketika para pekerja di rotasi pada posisi yang berbeda dan ditugaskan beberapa pekerjaan tambahan untuk dilakukan selama rutinitas normalnya. Job enlargement juga berdampak pada tingkat motivasi, tingkat kepuasaan, dan tingkat komitmen pada organisasi.
Employee Perfomance
Teoritikus telah mengidentifikasi 4 faktor utama yang dapat mempengaruhi performa para pekerja :
1.      Job autonomy
2.      Organizational support
3.      Training
4.      Justice in the organization

II.                Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan apakah ada hubungan antara job enrichment, job enlargement, kepuasan karyawan dan performa karyawan. Dan penelitian ini juga untuk memeriksa apakah kepuasan karyawan dipengaruhi oleh pembesaran dan perluasan pekerjaan karyawan. Dan efek ini bisa ditingkatkan dengan kinerja positif karyawan.

III.             Subjek Penelitian
Data diambil dari sector public dan sector swasta dari Lahore, Rawalpindi, dan Islamabad. Total 250 responden, 242 menjawab dengan benar dan 8 kuisioner tidak valid. Diantara 242 responden, 100 laki-laki dan 142 perempuan yang berhubungan dengan Sumber Daya Manusia, Teknologi Informatika, Audit & Akuntan, dan Departemen Teknik.

IV.             Metode Penelitian
Kuantitatif (kuisioner)

V.                Hasil
Pada tabel dampak job enrichment, job enlargement pada kepuasan karyawan menjaga kinerja karyawan sebagai variable intervensi sudah dicek. Table ini menunjukkan bahwa ada tingkatan menengah dari interdependen diantara job enrichment, job enlargement, kepuasan karyawan dan kinerja karyawan. Dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja secara langsung berdampak pada kinerja karyawan yang mana didapat dari job enrichment dan job enlargement.